Home » , » Anggap Status PPPK Inkonstitusional, UU ASN Digugat

Anggap Status PPPK Inkonstitusional, UU ASN Digugat



Pemohon Prinsipal yang diwakili Fathul Hadie Utsman saat menyampaikan dalil-dalil permohonan Pengujian UU Aparatur Sipil Negara (ASN), Rabu (28/01) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Kembali, materi Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (28/1). Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 9/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Fathul Hadie Utsman, Sanusi Afandi, Saji, Ahmad Aziz Fanani, Muiz Maghfur, Erike Yani Sonhaji, Abdul Rahman, Dedi Rahmadi, dan Ratih Rose Mery.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 butir 4, Pasal 96 ayat (1) Pasal 98 ayat (1), ayat (2), Pasal 99 ayat (1), ayat (2), Pasal 105 ayat (1) huruf a dan Pasal 135 UU ASN. Pemohon merasa tidak memperoleh kepastian hukum yang adil akan haknya untuk dapat bekerja sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang tidak memakai sistem kontrak dan hak untuk dapat ditetapkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara otomatis.
Pemohon menjelaskan bahwa saat ini pada instansi pemerintah sudah terdapat pegawai tidak tetap pemerintah/pegawai Non-PNS yang sudah bekerja dengan status pegawai Non-PNS. Menurut Pemohon, pegawai tersebut harus secara otomatis dapat ditetapkan sebagai pegawai ASN dengan status sebagai PPPK. Jika tidak ditetapkan secara otomatis sebagai PPPK maka akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja massal. Pegawai tersebut juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai ASN/PPPK. Padahal, pegawai pemerintah yang berstatus sebagai PNS secara otomatis ditetapkan sebagai pegawai ASN.  Pemohon berpendapat, hal tersebut merupakan perlakuan yang diskriminatif.
“Sangat merugikan terhadap pegawai pemerintah yang non PNS. Sebab dari pasal sampai dengan pasal peraturan peralihannya tidak mendukung terhadap keberadaan pegawai pemerintah yang statusnya non PNS, atau honorer, atau pun apa sebutannya. Untuk tetap ditetapkan sebagai pegawai pemerintah,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Fathul Hadie Utsman menjelaskan norma-norma tersebut menyatakan bahwa masa kerja PPPK itu hanya untuk jangka waktu tertentu, masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan pegawai PPPK dapat diberhentikan dari pekerjaannya sebagai PPPK, jika jangka waktu perjanjian kerja berakhir. Hal tersebut, lanjut Fathul, menurut para Pemohon tidak dapat menjamin adanya kepastian hukum yang adil sebab sewaktu-waktu para Pemohon dapat kehilangan pekerjaan. Selain itu,  ketentuan tersebut juga dianggap diskriminatif sebab pegawai ASN yang sudah berstatus sebagai PNS tidak dibatasi oleh jangka waktu dan tidak diberhentikan sewaktu-waktu karena tidak terikat oleh jangka waktu tertentu, sedangkan yang berstatus sebagai PPPK dapat diberhentikan sewaktu-waktu, apabila jangka waktunya berakhir.
“Sementara tentang pengangkatan sebagai pegawai negeri, di sini kami melatarbelakangi bahwa karena pegawai pemerintah itu sudah lama sekali bekerja pada instansi pemerintah, maka selayaknya pengangkatannya sebagai PNS tidak perlu, tidak diperlukan berbagai syarat yang sangat memberatkan yaitu secara otomatis bisa menjadi calon PNS,” ujarnya. Untuk itulah, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Ketua MK Arief Hidayat menjelaskan agar pemohon melengkapi alat bukti. “Kemudian yang kedua, untuk dilengkapi bukti yang relevan karena apalagi di dalam permohonan ditunjukkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan atau permohonan dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan, maka sekiranya dapat dikabulkan,” sarannya.
Kemudian, Hakim Konstitusi I Dewa Gde Palguna menyarankan agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum serta memaparkan dengan jelas hak konstitusional yang terlanggar. “Cara merumuskan legal standing, ketentuan apa yang Bapak bertentangan, dan hak konstitusional apa yang dilanggar diuraikan. Nah, kemudian atas dasar itu kemudian Bapak nanti menyusun argumentasi di dalam posita sehingga tiba pada petitum bahwa ini bertentangan dan sebagainya. Sehingga kami mudah untuk memahami dan pembaca yang lain pun akan memudahkan untuk memahami permohonnya,” jelasnya (Lulu Anjarsari).

0 komentar:

Posting Komentar